Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual - Coesmana Family
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 mengatur tentang Pencegahan dan Penanganan KeKerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.

Pencegahan adalah tindakan atau cara atau proses yang dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang tidak melakukan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

Penanganan adalah tindakan atau cara atau proses untuk menangani Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

Pemeriksaan adalah tindakan atau cara atau proses yang dilakukan Perguruan Tinggi untuk menindaklanjuti laporan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

Peraturan Menteri ini bertujuan:

  1. sebagai pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus; dan
  2. untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus di Perguruan Tinggi.

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilaksanakan dengan prinsip:
  1. kepentingan terbaik bagi Korban;
  2. keadilan dan kesetaraan gender;
  3. kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas;
  4. akuntabilitas;
  5. independen;
  6. kehati-hatian;
  7. konsisten; dan
  8. jaminan ketidakberulangan.
Sasaran Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual meliputi:
  1. Mahasiswa;
  2. Pendidik;
  3. Tenaga Kependidikan;
  4. Warga Kampus; dan
  5. masyarakat umum yang berinteraksi dengan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan dalam pelaksanaan Tridharma
Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.

Kekerasan Seksual meliputi:
  1. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
  2. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
  3. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
  4. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
  5. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
  6. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
  7. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
  8. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
  9. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
  10. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
  11. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
  12. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
  13. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
  14. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
  15. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
  16. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
  17. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
  18. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
  19. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
  20. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
  21. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
Persetujuan Korban dianggap tidak sah dalam hal Korban:
  1. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
  3. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
  4. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
  5. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
  6. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
  7. mengalami kondisi terguncang.
Perguruan Tinggi wajib melakukan Pencegahan Kekerasan Seksual melalui:
  1. pembelajaran;
  2. penguatan tata kelola; dan
  3. penguatan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan.
Pencegahan melalui pembelajaran  dilakukan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi dengan mewajibkan Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan untuk mempelajari modul Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh Kementerian.

Pencegahan melalui penguatan tata kelola paling sedikit terdiri atas:
  1. merumuskan kebijakan yang mendukung Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi;
  2. membentuk Satuan Tugas;
  3. menyusun pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual;
  4. membatasi pertemuan antara Mahasiswa dengan Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan di luar jam operasional kampus dan/atau luar area kampus;
  5. menyediakan layanan pelaporan Kekerasan Seksual;
  6. melatih Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus terkait upaya Pencegahan danPenangana n Kekerasan Seksual;
  7. melakukan sosialisasi secara berkala terkait pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual kepada Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus;
  8. menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual;
  9. melakukan kerja sama dengan instansi terkait untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual; dan
  10. memasang tanda informasi yang berisi:
a. pencantuman layanan aduan Kekerasan Seksual; dan
b. peringatan bahwa kampus Perguruan Tinggi tidak menoleransi Kekerasan Seksual;


Pencegahan melalui penguatan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual paling sedikit pada kegiatan:
  1. pengenalan kehidupan kampus bagi Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan;
  2. organisasi kemahasiswaan; dan/atau
  3. jaringan komunikasi informal Mahasiswa, Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Pencegahan Kekerasan Seksual oleh Pendidik dan Tenaga Kependidikan meliputi:
a. membatasi pertemuan dengan Mahasiswa secara individu:
1. di luar area kampus;
2. di luar jam operasional kampus; dan/atau
3. untuk kepentingan lain selain prosespembelajaran, tanpa persetujuan kepala/ketua program studi atau  ketua jurusan; dan
b. berperan aktif dalam Pencegahan Kekerasan Seksual.

Dalam hal Pendidik yang bersangkutan merupakan kepala/ketua program studi atau ketua jurusan maka persetujuan diberikan oleh atasan kepala/ketua program studi atau ketua jurusan yang bersangkutan.

Pencegahan Kekerasan Seksual oleh Mahasiswa meliputi:
a. membatasi pertemuan dengan Pendidik dan Tenaga Kependidikan secara individu:
1. di luar area kampus;
2. di luar jam operasional kampus; dan/atau
3. untuk kepentingan lain selain proses pembelajaran, tanpa persetujuan kepala/ketua program studi atau ketua jurusan; dan
b. berperan aktif dalam Pencegahan Kekerasan Seksual.

Persetujuan dilaksanakan dengan ketentuan:
  1. Mahasiswa menyampaikan permohonan izin secaratertu lis atau media komunikasi elektronik mengenai rencana pertemuan dengan Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan; dan
  2. permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam disampaikan kepada kepala/ketua program studi atau ketua jurusan sebelum pelaksanaan pertemuan.
Perguruan Tinggi wajib melakukan Penanganan Kekerasan Seksual melalui:
  1. pendampingan;
  2. pelindungan;
  3. pengenaan sanksi administratif; dan
  4. pemulihan Korban.
Pendampingan diberikan kepada Korban atau saksi yang berstatus sebagai Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus.

Pendampingan berupa:
  1. konseling;
  2. layanan kesehatan;
  3. bantuan hukum;
  4. advokasi; dan/atau
  5. bimbingan sosial dan rohani.

Dalam hal, Korban atau saksi merupakan penyandang disabilitas, pendampingan dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas.

Pendampingan dilakukan berdasarkan persetujuan Korban atau saksi. Dalam hal Korban tidak memungkinkan untuk memberikan persetujuan, maka persetujuan dapat diberikan oleh orang tua atau wali Korban atau pendamping.Pelindungan  diberikan kepada Korban atau saksi yang berstatus sebagai Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus.

Pelindungan kepada Korban atau saksi  berupa:
  1. jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan bagi Mahasiswa;
  2. jaminan keberlanjutan pekerjaan sebagai Pendidik dan/atau Tenaga Kependidikan pada Perguruan Tinggi yang bersangkutan;
  3. jaminan pelindungan dari ancaman fisik dan nonfisik dari pelaku atau pihak lain atau keberulangan Kekerasan Seksual dalam bentuk memfasilitasi pelaporan terjadinya ancaman fisik dan nonfisik kepada aparat penegak hukum;
  4. pelindungan atas kerahasiaan identitas;
  5. penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan;
  6. penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan;
  7. pelindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan dan/atau menguatkan stigma terhadap Korban;
  8. pelindungan Korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana;
  9. gugatan perdata atas peristiwa Kekerasan Seksual yang dilaporkan;
  10. penyediaan rumah aman; dan/atau
  11. pelindungan atas keamanan dan bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang diberikan.
Pengenaan sanksi administratif  dilakukan dalam hal pelaku terbukti melakukan Kekerasan Seksual.

Pengenaan sanksi administratif  ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi berdasarkan rekomendasi Satuan Tugas.

Pengenaan sanksi administratif  terdiri atas:
  1. sanksi administratif ringan;
  2. sanksi administratif sedang; atau
  3. sanksi administratif berat.
Sanksi administratif ringan berupa:
  1. teguran tertulis; atau
  2. pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa.
Sanksi administratif sedang berupa:
a. pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan; atau
b. pengurangan hak sebagai Mahasiswa meliputi:
1. penundaan mengikuti perkuliahan (skors);
2. pencabutan beasiswa; atau
3. pengurangan hak lain.

Sanksi administratif berat berupa:
  1. pemberhentian tetap sebagai Mahasiswa; atau
  2. pemberhentian tetap dari jabatan sebagai Pendidik Tenaga Kependidikan, atau Warga Kampus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan.

Perguruan Tinggi yang tidak melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dikenai sanksi administratif berupa:
  1. penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk Perguruan Tinggi; dan/atau
  2. penurunan tingkat akreditasi untuk Perguruan Tinggi.
Untuk mengetahui lebih lengkap dan rinci terkait Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan KeKerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi, dapat dilihat dan didownload disini.


Semoga bermanfaat dan terima kasih.