Lampiran II Pedoman Probity Audit Dalam Peraturan BPKP Nomor 3 Tahun 2019 - Coesmana Family
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lampiran II Pedoman Probity Audit Dalam Peraturan BPKP Nomor 3 Tahun 2019

Pedoman Probity Audit

Coesmana Family.com - Pengadaan barang/jasa merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan, termasuk dalam rangka penyediaan layanan publik. Oleh karena itu, pengadaan barang/jasa merupakan kegiatan penting, karena merupakan salah satu upaya dalam pemenuhan barang publik yang menjadi tugas pemerintah, serta turut menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pemerintahan.

Secara prinsip, pengadaan barang/jasa pemerintah, seharusnya dilakukan dengan proses yang efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel. Dengan demikian barang/jasa yang dihasilkan bisa memenuhi kebutuhan pemerintah secara ekonomis, efisien dan efektif.

Namun demikian dalam pelaksanaannya, pengadaan barang/jasa sering menjadi sumber permasalahan hukum terkait dengan tindak pidana korupsi atau kejadian-kejadian fraud lainnya. Dampak dari kejadian fraud ini sangat signifikan dalam pencapaian tujuan pengadaan barang/jasa khususnya, maupun tujuan pemerintahan secara umum. Kerugian keuangan negara, tindakan pemidanaan oleh aparat penegak hukum terhadap para pelaku korupsi dari kalangan birokrasi maupun swasta, dan dari kalangan eksekutif maupun legislatif, serta terpuruknya citra penyelanggara negara, merupakan beberapa contoh dampak fraud terkait pengadaan barang/jasa yang kemudian sangat mungkin menjadi penyebab meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses birokrasi, khususnya dalam pengadaan barang/jasa.

Fraud/korupsi, dalam berbagai bentuknya, menjadi risiko utama dan signifikan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, sehingga mau tak mau harus menjadi salah satu perhatian utama dalam pelaksanaan proses pengadaan barang/jasa.

APIP sebagaimana tertuang didalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah pada Pasal 47 dan 48, harus melakukan pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan negara. Lebih lanjut, pengawasan intern adalah “seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik.

Salah satu upaya untuk mewujudkan peran APIP dalam melakukan pengawasan pengadaan barang/jasa adalah melaksanakan audit selama proses pengadaan barang/jasa berlangsung (real time audit) dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip probity, yang disebut sebagai Probity Audit.

Probity diartikan sebagai integritas (integrity), kebenaran (uprightness), dan kejujuran (honesty). Probity audit atas pengadaan barang/jasa pemerintah ini merupakan audit dengan tujuan tertentu, (vide penjelasan Pasal 4 ayat 4 Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara).  Audit dengan tujuan tertentu ini merupakan audit ketaatan terhadap ketentuan pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan selama proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa, dan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa serta etika pengadaan barang/jasa.

Probity Audit diterapkan selama proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa (real time) untuk memastikan bahwa seluruh ketentuan telah diikuti dengan benar, jujur dan penuh integritas, sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan dalam proses pengadaan barang/jasa (early warning). Probity audit ini juga merupakan bagian dari proses manajemen risiko dalam rangka mencapai tujuan pengadaan barang/jasa.

Audit dapat dilakukan atas seluruh tahapan pengadaan barang/jasa, mulai dari proses identifikasi kebutuhan sampai dengan penyerahan barang/jasa (sebelum pembayaran 100%) atau hanya tahapan terpilih dari suatu proses pengadaan barang/jasa. Untuk tahapan terpilih, perlu dipastikan bahwa pelaksanaan tahapan sebelumnya telah sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku.

Probity Audit bertujuan untuk meyakinkan bahwa pengadaan barang/jasa telah dilaksanakan sesuai dengan probity requirement yaitu mentaati prosedur pengadaan sesuai ketentuan, sesuai dengan prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa (efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel) serta sesuai dengan etika pengadaan barang/jasa berdasarkan hasil audit atas data/dokumen/informasi yang diterima auditor. Audit probity juga bertujuan untuk memberikan rekomendasi/saran perbaikan atas proses pengadaan barang/jasa yang sedang berlangsung terkait dengan isu-isu probity.  

Sasaran Probity Audit adalah:

  1. Meyakinkan bahwa pengadaan barang/jasa dilakukan sesuai dengan kebutuhan baik segi jumlah, kualitas, waktu dan nilai pengadaan yang menguntungkan negara; 
  2. Meyakinkan bahwa prosedur pengadaan barang/jasa yang digariskan dalam Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa telah diikuti sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 
  3. Meyakinkan bahwa pengadaan barang/jasa menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan, diukur dari aspek kualitas, jumlah, waktu, biaya, lokasi, dan penyedia; 
  4. Mencegah penyimpangan/fraud dalam kegiatan pengadaan barang/jasa dengan mempertimbangkan risiko fraud selama proses perencanaan, persiapan dan pelaksanaan audit,
  5. Mengidentifikasi kelemahan pengendalian intern dan manajemen risiko atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa.  
Output dan Outcome yang Diharapkan dari Pelaksanaan Audit:

  1. Output yang diharapkan dari pelaksanaan probity audit adalah Laporan Hasil Audit Pengadaan Barang/Jasa yang menyajikan informasi mengenai simpulan dan pendapat berdasarkan hasil penilaian atas proses pengadaan barang/jasa yang diaudit, dikaitkan dengan pemenuhan probity requirement, serta saran perbaikan atas proses pengadaan barang/jasa yang sedang berlangsung. Selain melalui laporan hasil audit, probity auditor dapat memberikan saran-saran perbaikan atas proses pengadaan barang/jasa yang sedang berlangsung dengan menggunakan mekanisme atensi manajemen.
  2. Sedangkan outcome-nya adalah dimanfaatkannya laporan hasil audit untuk pengambilan keputusan oleh Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah dalam rangka memperbaiki perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan pengadaan barang/jasa agar lebih efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel.

Kewenangan dan Tanggung Jawab Auditor:

  1. Probity auditor diberikan kewenangan untuk mengakses secara penuh seluruh dokumen (dalam bentuk hardcopy maupun softcopy) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja Pemilihan), Pejabat Pengadaan, Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PjPHP), Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP), Agen Pengadaan, Pengelola Pengadaan, dan Penyelenggara Swakelola, Penyedia dan pihak lainnya yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan barang/ jasa, mengamati pertemuan-pertemuan, melakukan kunjungan lapangan dan membuat fotokopi (photo copy) dokumen relevan yang diperlukan.
  2. Selain itu Probity Auditor juga diberikan hak akses ke sistem informasi pengadaan barang/jasa termasuk untuk melakukan e-audit atau audit pada sistem pengadaan barang/jasa berbasis teknologi informasi pada saat proses pengadaan sedang berlangsung. Apabila diperlukan, sebagai bagian dari prosedur audit, probity auditor meminta bantuan ahli untuk lingkup pengujian yang di luar kompetensi probity auditor, termasuk diantaranya ahli untuk melaksanakan prosedur audit atas sistem informasi/teknologi informasi pengadaan barang/jasa. 
  3. Pelaksanaan Probity Audit tidak memindahkan tanggung jawab manajerial pelaksanaan pengadaan barang/jasa dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja Pemilihan), Pejabat Pengadaan, Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PjPHP), Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP), Agen Pengadaan, Pengelola Pengadaan, dan Penyelenggara Swakelola dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa sesuai prinsip dan etika pengadaan kepada probity auditor. 
  4. Tanggung jawab pelaksanaan pengadaan barang/jasa sesuai prinsip dan etika pengadaan barang/jasa (prinsip-prinsip probity) termasuk kebenaran data sepenuhnya menjadi tanggung jawab instansi auditi (Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja Pemilihan), Pejabat Pengadaan, Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PjPHP), Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP), Agen Pengadaan, Pengelola Pengadaan, dan Penyelenggara Swakelola). Tanggung jawab auditor terbatas pada hasil audit berupa pendapat dan/atau saran yang diberikan kepada auditi sebagai pelaksana pengadaan barang/jasa berdasarkan data/dokumen yang diterima dari auditi maupun pihak ketiga lainnya. Kewenangan dan tanggung jawab untuk menindaklanjuti saran yang diberikan oleh probity auditor, sepenuhnya berada pada pihak auditi.

Tahapan dan pelaksanaan Probity Audit 

Pelaksanaan probity audit secara umum mencakup tahapan-tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengkomunikasian hasil audit. Hal-hal penting dalam pelaksanaan Probity Audit antara lain: 

  1. Penetapan kriteria atau tolok ukur yang digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi apakah persyaratan kejujuran/probity (probity requirement) dalam pengadaan barang/jasa telah terpenuhi. Kriteria, probity plan, dan rencana kerja audit harus diklarifikasi dan disepakati oleh probity auditor bersama-sama dengan pengelola pengadaan sebelum dimulainya pelaksanaan audit. Kriteria tersebut (probity requirement) kemudian digunakan oleh probity auditor untuk menetapkan rencana dan program audit. 
  2. Probity Auditor diharuskan untuk mendapatkan kecukupan bukti yang sesuai untuk semua kriteria yang ditetapkan. Keputusan probity auditor harus didukung oleh fakta dan bukti dokumen yang kuat. Penilaian profesional (professional judgement) tidaklah cukup untuk dijadikan pembenaran atas keputusan yang tidak didukung oleh fakta atau kecukupan bukti yang relevan. Probity auditor harus menggunakan penilaian profesional mengenai apakah bukti tersebut memadai sehingga dapat mendukung keputusan berdasarkan kriteria yang ditentukan.
  3. Hasil dan pendapat Probity auditor mengenai apakah persyaratan Probity telah terpenuhi harus didokumentasikan dalam laporan probity audit, yaitu mencakup masalah signifikan yang telah diidentifikasi dan berdampak pada pendapat/simpulan Probity auditor. 
  4. Hasil audit dituangkan dalam format laporan hasil audit berisi simpulan/pendapat dan saran auditor atas proses pengadaan barang/jasa. Laporan hasil Probity Audit disampaikan oleh auditor kepada auditi dengan tembusan kepada yang menugaskan atau meminta audit, segera setelah audit selesai dilaksanakan atau sesuai Kerangka Acuan Kerja (KAK)/dokumen sejenis. Tanggung jawab atas tindak lanjut hasil audit sepenuhnya menjadi tanggung jawab manajemen pengadaan barang/jasa. Hasil tindak lanjut hasil audit dilaporkan kepada atasan dan/atau yang menugaskan/meminta audit dengan tembusan kepada instansi probity auditor. Instansi probity auditor harus mengelola laporan hasil audit dan melakukan pemantauan atas tindak lanjut hasil audit.

Unit yang Bertanggung Jawab Melakukan Probity Audit 

Merujuk pada Pasal 76 Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 dinyatakan bahwa Menteri/kepala Lembaga/kepala daerah wajib melakukan pengawasan pengadaan barang/jasa melalui aparat pengawasan internal (APIP) pada Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah, diantaranya melalui audit atas pengadaan barang/jasa. Oleh karena itu, Probity audit terutama dilaksanakan oleh APIP Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah, walaupun dimungkinkan audit ini dilaksanakan oleh APIP dari eksternal Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (BPKP).

Kriteria Paket Pekerjaan yang Dilakukan Probity Audit 

Kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu paket pekerjaan pengadaan barang/jasa perlu dilakukan Probity Audit antara lain: 
  1. Paket pekerjaan melekat risiko yang tinggi dan bersifat kompleks; 
  2. Paket pekerjaan memiliki sejarah/latar belakang yang kontroversial atau berhubungan dengan permasalahan hukum; 
  3. Paket pekerjaan sangat sensitif terkait isu politis; 
  4. Paket pekerjaan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan; 
  5. Paket pekerjaan berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas;
  6. Paket pekerjaan untuk memenuhi pelayanan dasar masyarakat; 
  7. Nilai paket pekerjaan relatif besar dibandingkan dengan nilai paket-paket pekerjaan yang lain.

Probity requirement 

Probity requirement merupakan kriteria-kriteria yang ditetapkan sebagai dasar untuk menilai bahwa pengadaan barang/jasa telah dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip probity. Probity requirement ini akan menjadi kriteria ketika probity auditor melaksanakan penugasan audit. Pengertian Probity requirement dalam pedoman ini adalah ketaatan kepada proses pengadaan barang/jasa menurut Perpres Nomor 16/2018 beserta peraturan pelaksanaannya, dan ketaatan kepada peraturan lain yang terkait dengan pengadaan barang/jasa yang akan dilaksanakan, serta prinsip-prinsip dan etika pengadaan barang/jasa, berdasarkan atas data/dokumen/informasi yang diterima auditor probity. Probity requirement ini juga harus disepakati antara auditi dengan probity auditor yang dituangkan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK) apabila probity audit dilaksanakan oleh APIP dari eksternal Kementerian/ Lembaga/Pemerintah Daerah (BPKP).

Pelaksanaan 
Langkah-langkah pelaksanaan Probity audit mengacu pada pedoman pelaksanaan probity audit yang mencakup: 
  1. Audit atas Tahap Perencanaan dan Persiapan Pengadaan Barang/Jasa; 
  2. Audit atas Tahap Persiapan Pemilihan Penyedia Barang/Jasa; 
  3. Audit atas Tahap Pelaksanaan Pemilihan Penyedia Barang/Jasa; 
  4. Audit atas Tahap Pelaksanaan Kontrak Jasa Konstruksi; 
  5. Audit atas Tahap Pelaksanaan dan Kontrak Jasa Konsultansi Badan Usaha; 
  6. Audit atas Tahap Pelaksanaan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa lainnya;
  7. Audit atas Swakelola. 
Secara umum, pedoman pelaksanaan probity audit tersebut terdiri dari tiga bagian yaitu:
  1. Skema audit, menjelaskan tujuan dan waktu pelaksanaan audit; 
  2. Program audit, berisi langkah-langkah audit. Program audit ini merupakan program audit generik sebagai acuan umum dan harus dimodifikasi menyesuaikan dengan situasi dan kondisi spesifik pengadaan barang/jasa yang diaudit, terutama dengan mempertimbangkan risiko signifikan pada tahapan pengadaan barang/jasa yang diaudit (termasuk risiko fraud). Dalam melakukan modifikasi program audit, probity auditor harus mengacu juga pada pedoman bagian umum ini; 
  3. Daftar Uji Hasil Audit, merupakan alat bantu untuk mempermudah auditor dalam mengambil kesimpulan hasil audit. Penggunaan Daftar Uji ini bukan menjadi satu-satunya alat bantu bagi probity auditor dalam mengambil kesimpulan. Instrumen dan atau teknik lain dapat digunakan sepanjang relevan, efisien dan efektif dalam membantu mencapai tujuan audit,
  4. Pedoman pelaksanaan probity audit diuraikan lebih lanjut dalam bagian-bagian berikutnya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari bagian umum ini. 
Hasil audit diarahkan untuk memberikan simpulan bahwa proses pengadaan barang/jasa telah dilakukan sesuai dengan persyaratan probity (probity requirement).

Untuk meningkatkan efektifitas probity audit, dalam pengembangan program audit atas tahapan-tahapan pengadaan barang/jasa, auditor harus mempertimbangkan risiko fraud pada setiap tahapannya. Risiko fraud yang mungkin terjadi dalam pengadaan barang/jasa diantaranya, namun tidak terbatas pada:
  1. Menggelembungkan anggaran, harga perkiraan sendiri (HPS)/Owner’s Estimate, dan harga penawaran;
  2. Menyuap;
  3. Menggabungkan dan memecahkan pekerjaan;
  4. Memecah pekerjaan;
  5. Penunjukan langsung;
  6. Mengatur/merekayasa proses lelang;
  7. Memalsukan dokumen perusahaan;
  8. Mensub-kontrakkan seluruh pekerjaan;
  9. Membuat spesifikasi yang mengarah kepada rekanan tertentu/merk tertentu;
  10. Membuat syarat-syarat lelang untuk membatasi peserta lelang;
  11. Mengurangi kuantitas barang/jasa;
  12. Mengurangi kualitas barang/jasa;
  13. Pengadaan fiktif;
  14. Salah merancang kontrak;
  15. Kontrak tanpa tersedia anggarannya;
  16. Pemborosan keuangan negara/daerah atau korporasi negara/daerah;
  17. Perkembangan teknologi juga telah mempengaruhi pengadaan barang/jasa, yaitu perubahan proses pemilihan pemenang dengan menggunakan teknologi informasi (e-procurement). Walaupun pemanfaatan teknologi ini sangat membantu proses pengadaan barang/jasa, namun hal ini juga meningkatkan risiko dalam pengadaan barang/jasa.
Untuk melihat Lampiran II Peraturan BPKP Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengawasan Intern Atas Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, bagian Pedoman Probity Audit dapat didownload DISINI.

Lihat Juga :